Paradigma Ekologis
Dengan berpegang teguh pada prinsip bahwa alam sejatinya akan bergerak sesuai dengan kodratnya dan satu-satunya pemilik kebebasan adalah manusia, maka jika terjadi kerusakan lingkungan di muka bumi penyebabnya tak lain adalah manusia sang pemilik kebebasan itu sendiri. Arne Naess, salah seorang pakar ekologi, melihat bahwa akar dari kerusakan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini adalah keserakahan dan sifat tamak manusia yang selalu mengukur apa saja berdasarkan kepentingannya. Manusia menganggap dirinya sebagai subjek sementara alam adalah objek. Pandangan semacam ini merupakan implikasi lanjut dari pemikiran filsuf Barat paruh abad ke-15 yang terpusat pada “ego” dan “diri”. Manusia dalam pandangan mereka dianggap sebagai pusat alam semesta (antroposentris) sehingga segala sesuatunya ditujukan untuk kepentingan manusia. Selain itu, kerusakan lingkungan juga diakibatkan oleh tingginya angka konsumerisme, gaya hidup materialistis, serta kurangnya pendidikan dan kesadaran ekologis.
Arne Naess memaparkan bahwa kerusakan lingkungan hanya dapat dihentikan atau setidaknya diminimalisir apabila paradigma antroposentrisme yang selama ini menjangkiti pikiran manusia dialihkan menuju paradigma biosentrisme ataupun ekosentrisme di mana pemangku nilai tidak hanya manusia melainkan juga makhluk hidup lain seperti binatang dan tumbuhan hingga bahkan makhluk-makhluk abiotik seperti tanah dan bebatuan. Di mulai dari paradigma itulah nantinya manusia diharap dapat menaruh perhatian lebih untuk melestarikan dan tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Selain biosentrisme dan ekosentrisme, terdapat pula paradigma lain yang perlu diadopsi guna mengatasi krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang semakin parah. Paradigma tersebut ialah Biocultural Diversity. Paradigma ini menempatkan alam dan manusia dalam relasi yang saling melengkapi. Keanekaragaman hayati dan budaya memiliki hubungan timbal balik yang saling memengaruhi satu sama lain. Menurut data dari Terralingua, ketika terjadi degradasi budaya tradisional maka alam sekitarnya pun akan turut rusak dan ketika alam sekitarnya rusak maka budaya tersebut pun akan ikut memudar. Praktik-praktik kebudayaan dan ritual adat yang selama ini dijalankan oleh masyarakat lokal tidak hanya berorientasi pada aspek kepercayaan namun juga mengarah pada konservasi lingkungan. Banyak praktik-praktik kebudayaan dan tradisi, seperti hutan keramat, pertanian tradisional, dan lainnya, yang berkontribusi dalam membentuk dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Kearifan Lokal; Kejawen dan Harmoni dengan Alam
Salah satu tradisi dan kebudayaan lokal yang hingga kini masih lestari adalah kejawen. Kejawen merupakan aliranm kepercayaan, sekaligus kebudayaan Jawa yang mengajarkan tata krama berperilaku dengan baik. Kejawen telah dianut oleh Masyarakat Jawa sejak zaman dahulu, ketika tanah Jawa masih didominasi oleh kepercayaan Hindhu-Budha. Hingga kini, tradisi Kejawen masih dianut oleh beberapa kelompok masyarakat di samping kepercayaan agama. Mereka meyakini bahwa tradisi Kejawen merupakan identitas masyarakat Jawa yang diturunkan oleh para leluhur untuk dilestarikan dan dijadikan pedoman hidup. Meski demikian, perkembangan teknologi membuat penganut ajaran Kejawen ini semakin langka. Dalam suatu desa biasanya hanya ada satu atau dua tokoh yang benar-benar masih menganut ajaran Kejawen murni. Kebanyakan aliran Kejawen yang eksis hari ini telah terakulturasi dengan ajaran agama. Oleh karenanya, ada istilah Islam Kejawen, Hindhu Kejawen, Budha Kejawen, hingga Kristen Kejawen.
Di dalam konsep filsafatnya, Kejawen memiliki ajaran-ajaran yang tidak hanya terfokus pada aspek spiritualitas. Kejawen juga mangajarkan tata krama dan etika tentang bagaimana manusia memperlakukan sesame manusia, Tuhan, dan bahkan alam. Secara garis besar, ajaran Kejawen terangkum ke dalam empat misi utama, yakni Mamayu Hayuning Jiwa (sebagai Rahmat bagi diri pribadi), Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga), Mamayu Hayuning Sasana (sebagai rahmat bagi tetangga), dan Mamayu Hayuning Bawana (sebagai rahmat bagi alam semesta). Empat misi Kejawen ini menunjukkan bahwa selain berfokus pada spiritualitas, Kejawen juga menempatkan alam dan lingkungan pada posisi yang tinggi. Mamayu Hayuning Bawana secara bahasa berarti “memperindah alam semesta yang secara kodratnya sudah indah”. Di dalam misi ini terdapat pesan bahwa hadirnya manusia di alam semesta adalah untuk memperindah dan melestarikan alam dan lingkungan. Ketika misi untuk memperindah alam semesta ini tidak bisa dilaksanakan oleh salah seorang individu, maka setidaknya ia tidak malah merusak dan mengekploitasinya. Di dalam konsep ini, Kejawen menunjukkan perhatiannya yang intens terhadap urgensi manjalin relasi yang harmonis antara manusia dan alam.
Desa Kemuning dan Kejawen dalam Ekologi
Salah satu daerah yang di dalamnya ajaran Kejawen masih eksis adalah Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Sebagai salah satu desa wisata yang berbasis lingkungan karena terletak di lereng Gunung Lawu, Desa Kemuning menjadi salah satu destinasi yang selalu ramai oleh wisatawan. Kepopulerannya sebagai desa wisata seolah telah menjadi identitas utama Desa Kemuning.
Di balik ketenarannya sebagai desa wisata, terdapat aspek lain yang tak kalah penting yang secara tidak langsung menjadi faktor penyokong dari kemajuan pariwisata di Desa Kemuning. Aspek tersebut adalah kebudayaan Jawa yang berupa Kejawen. Kejawen di Desa Kemuning selain berfokus pada aspek spiritualitas juga mengedepankan aspek ekologis. Salah satu ritual yang merepresentasikan hal tersebut dilakukan ketika ada laporan dari wisatawan bahwa dirinya diperlihatkan makhluk astral pada saat menikmati wisaita Jeap. Laporan tersebut kemudian direspon oleh paguyuban jeap Kemuning melalui ritual “kirim doa”. Riansyah, salah satu penggiat kebudayaan Desa Kemuning, menyampaikan bahwa ritual tersebut tidak bertujuan untuk mengusir eksistensi makhluk astral tersebut melainkan untuk berdamai dan menjalin relasi yang baik dengannya. Ini mencerminkan cara pandang Kejawen yang tidak melihat alam sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai entitas yang harus dihormati.
Praktik kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun ini menjadi salah satu "modal" penting bagi Desa Kemuning dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kearifan lokal ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Mereka tidak hanya disuguhi dengan pemandangan alam yang indah, namun juga dapat belajar dan menyaksikan langsung bagaimana masyarakat Desa Kemuning hidup selaras dengan alam.
Kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat Desa Kemuning ini secara tidak langsung memberikan kontribusi pada upaya mitigasi krisis lingkungan. Berbeda dengan paradigma antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, Kejawen mengajarkan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.
Ritual "kirim doa" yang dilakukan oleh paguyuban Jeep Kemuning adalah salah satu contoh bagaimana masyarakat Desa Kemuning menghormati alam dan makhluk hidup lainnya. Ritual ini bukanlah sekadar upacara adat, tetapi juga merupakan manifestasi dari nilai-nilai ekologis yang dianut oleh masyarakat Kejawen. Melalui ritual ini, masyarakat Desa Kemuning menunjukkan bahwa mereka tidak hanya peduli terhadap kepentingan manusia, tetapi juga terhadap keseimbangan alam semesta.
Kesimpulan
Kearifan lokal Kejawen memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Kemuning. Nilai-nilai ekologis yang terkandung dalam ajaran Kejawen mengajarkan manusia untuk hidup selaras dengan alam dan menghormati semua makhluk hidup. Meskipun menghadapi tantangan modernisasi dan perubahan iklim, Desa Kemuning memiliki potensi besar untuk menjadi contoh bagi daerah lain dalam mengembangkan pariwisata yang berbasis pada kearifan lokal dan berkelanjutan.